PERANAN WANITA

| |


PERANAN WANITA
DALAM SENI PERTUNJUKAN BALI
DI KOTA DENPASAR




Di Bali termasuk Kota Denpasar, masyarakat telah lama dapat menerima kaum
wanita untuk ikut ambil bagian dalam seni pertunjukan wali atau sakral dan seni
pertunjukan bebali sebagai pengiring upacara. Kendatipun demikian, peluang bagi kaum
wanita untuk ikut berperan dalam seni pertunjukan sekuler atau balih-balihan, hingga
tahun 1980an, masih terbatas. Hal ini disebabkan oleh pandangan negatif dari warga
masyarakat yang cenderung menilai wanita-wanita pelaku seni pertunjukan sebagai orang
tidak bermoral atau wanita murahan. Akan tetapi sejak awal tahun 1980an pandangan
seperti itu telah mulai berkurang karena masyarakat Bali mulai bisa menerima kaum
wanita untuk ikut berperan dalam kegiatan seni pertunjukan. Kondisi seperti ini sangat
mendorong kaum wanita di Kota Denpasar untuk meningkatkan peranan dan partisipasi
mereka dalam aktivitas seni pertunjukan.

Hingga kini fenomena menyangkut meningkatnya keterlibatan wanita dalam seni
pertunjukan Bali di Kota Denpasar belum pernah diteliti secara mendalam. Selain
menunjukkan terjadinya perubahan prilaku berkesenian dalam seni pertunjukan Bali,
fenomena budaya seperti ini mengisyaratkan terjadinya kesejajaran gender dalam
berbagai kegiatan sosial dan kultural di kalangan masyarakat Bali.

Dalam mencapai tujuan yang telah disebutkan di atas, pembahasan ini akan
difokuskan kepada tiga hal: a) berbagai genre seni pertunjukan Bali di mana kaum wanita
memainkan peranan dan fungsi penting; b). peranan dan makna dari partisipasi kaum
wanita dalam seni pertunjukan Bali di wilayah ini, dan c) faktor-faktor pendorong atas
meningkatnya peranan wanita dalam seni pertunjukan Bali.

Genre-genre Seni Pertunjukan

Dewasa ini kaum wanita di Kota Denpasar telah mampu memainkan peranan
penting dalam lima belas genre seni pertunjukan terutama dari kelompok seni hiburan
yang bersifat sekuler atau balih-balihan. Genre-genre seni pertunjukan ini tersebar di
empat bidang seni yaitu: seni tari, seni musik, seni pewayangan, dan seni drama/teater.
Bidang seni tari (seni audio visual atau teater gabungan) mencakup dramatari Gambuh,
tari Legong Keraton, dramatari Calonarang, dramatari Arja, tari-tarian Kakebyaran, tari
Janger, Joged Bumbung, dan Sendratari. Bidang musik meliputi Gender Wayang, Gong


Kebyar, dan Balaganjur. Seni pewayangan diwakili oleh Wayang Kulit, dan seni drama
oleh Drama Gong dan Drama Klasik.

Di dalam seni-seni pertunjukan Bali yang lebih muda seperti Sendratari, Drama
Gong, dan Drama Klasik, bahkan dapat dijumpai integrasi elemen budaya Bali (lokal)
dengan elemen-elemen budaya luar dan asing (global). Hal ini menunjukkan terjadinya
proses glokalisasi (Barker, 2004:120, Piliang, 2005:1) dalam seni pertunjukan Bali sejak
masuknya dua epos, Mahabharata and Ramayana, ke dalam budaya Bali.

Meningkatnya minat wanita di Kota Denpasar untuk ikut ambil bagian dalam
kegiatan seni pertunjukan Bali bukanlah merupakan suatu gerakan dari kaum wanita di
wilayah ini untuk mengambil alih peranan kaum lelaki, atau suatu pemberontakan dari
kaum wanita Bali terhadap dominasi kaum laki-laki di bidang seni seni pertunjukan.
Peningkatan partisipasi dan keterlibatan mereka dalam kegiatan seni pertunjukan adalah
suatu realisasi dari upaya mereka untuk bersama-sama kaum laki-laki untuk ikut
mempertahankan, memperkuat, dan mengembangkan seni dan budaya tradisional Bali.
Sungguhpun demikian, keterlibatan dan partisipasi mereka seperti ini telah merubah
sikap masyarakat setempat dalam memperlakukan kaum wanita, terutama yang ikut
dalam seni pertunjukan, dalam aktivitas sosial dan kultural. Jika di masa lampau kaum
wanita lebih banyak dipandang sebagai ibu rumah tangga, dengan keterlibatan mereka
dalam seni pertunjukan, kini mereka dilihat dan diperlakukan sebagai seniman seperti
halnya kaum laki-laki.

Peranan dan Makna

Tiga peranan yang dominan dari kaum wanita di Kota Denpasar dalam seni
pertunjukan Bali adalah sebagai pemain, pencipta, dan pengelola. Sebagai pemain, kaum
wanita berperan sebagai penari/aktor (pragina), penabuh (juru gambel), dan dalang.
Ketiga peranan ini mulai berkembang di tahun 1970an. Sebagai pencipta, kaum wanita
berperan sebagai koreografer, komposer, dan penata busana. Peranan sebagai
koreografer dan komposer mulai muncul sejak pertengahan tahun 1980an. Peranan
mereka sebagai pengelola, yang mulai berkembang sejak tahun 1990an, meliputi
pengelola sanggar-sanggar tari dan kegiatan seni pertunjukan (khususnya untuk sajian
turistik).


Dominannya peranan dan partisipasi kaum wanita sebagai pelaku berdampak
kuat baik terhadap bentuk maupun kandungan isi dari seni pertunjukan yang mereka
pentaskan. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam repertoar seni pertunjukan
yang mereka mainkan, walaupun merupakan karya-karya hasil ciptaan kaum pria, telah
terintegrasi nilai-nilai artistik yang merupakan ekspresi seni laki dan wanita. Namun
demikian, partisipasi kaum wanita telah merubah penampilan dari seni pertunjukan yang
mereka bawakan bahwa kini kesenian-kesenian itu tidak lagi hanya milik kaum laki-laki.

Sajian seni pertunjukan Bali yang dimainkan oleh wanita memiliki makna yang
cukup kompleks dari kultural, sosial, dan kesejahteraan. Makna kulturalnya menyangkut
pertahanan, revitalisasi, dan pengembangan dari tradisi budaya lokal. Makna sosialnya
terkait dengan meningkatnya rasa kebersamaan dari warga masyarakat setempat serta
terbukanya ruang kiprah kreativitas seni bagi kaum wanita. Makna kesejahteraan
menyangkut bertambahnya kemakmuran warga masyarakat termasuk kepuasan spiritual
dan material yang mereka dapatkan dari beraktivitas seni.

Faktor-faktor Pendorong

Ada tujuh faktor utama yang telah mendorong kaum wanita di Kota Denpasar
untuk ikut berpartisipasi dalam dunia seni pertunjukan. Faktor-faktor yang dimaksud
adalah: 1) emansipasi wanita di Bali, 2) Perubahan sosial dikalangan masyarakat Bali, 3)
tumbuhnya kesadaran kaum wanita dalam berak-tivitas seni, 4) adanya dukungan yang
besar dari masyarakat dan pemerintah daerah Kota Denpasar, 5) pengaruh pariwisata di
Bali, 6) lahirnya sekolah-sekolah kesenian di pulau ini (di Denpasar), dan 7) diadakannta
Pesta Kesenian Bali (PKB). Tiga faktor yang disebutkan pertama dapat digolongkan
sebagai faktor internal dan selebihnya merupakan faktor eksternal.

Kesimpulan

Meningkatnya partisipasi kaum wanita Bali di Kota Denpasar dalam seni
pertunjukan, selama dua puluh lima tahun terakhir ini, menandakan terjadinya perubahan
sosial, atau apa yang disebut Dibia sebagai demokratisasi di bidang seni (1992:3), di Bali.
Terjadi melalui proces glokalisasi, fenomena budaya ini adalah jawaban terhadap
modernisasi yang terjadi di pulau ini. Keterlibatan dan partisipasi kaum wanita Bali


dalam aktivitas seni pertunjukan di daerah ini dimaksudkan untuk merubah pandangan

negatif terhadap kaum wanita di mata masyarakat serta anggapan masyarakat terhadap

kaum wanita yang selalu tergantung kepada bantuan kaum laki-laki.

Daftar Referensi
Bandem, I Made and Frederik deBoer. 1981. Kaja and Kelod: Balinese Dance in
Transsition. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedi Tari Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari
(ASTI) Denpasar.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang.

deZoete, Beryl and Walter Spies. 1973. Dance and Drama in Bali. Kuala Lumpur:
Oxford University Press.
Dibia, I Wayan. 1992. Arja: A Sung Dance Drama of Bali; A Study of Change and
Transformation. (Dissertation). Los Angeles: University of California.
________. 1999. Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali. Bandung: MSPI
(Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia)
Dibia, I Wayan and Rucina Ballinger. 2004. Balinese Dance, Drama and Music.
Singapore: Periplus.


Piliang, Yasraf Amir. 2005. ”Menciptakan Keunggulan Lokal Untuk Merebut Peluang
Global: Sebuah Pendekatan Kultural”. Makalah dalam Seminar Membedah
Keunggulan Lokal Dalam Konteks Global, 26 Juli 2005 di ISI Denpasar.


Soedarsono. 1972. Jawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Dramatari Tradisionil
di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


Wicaksana, I Dewa Ketut. 2000. “Eksistensi Dalang Wanita di Bali: Kendala dan
Prospeknya dalam Mudra. No. 9 tahun VIII. Denpasar: Sekolah Tinggi
Seni Indonesia (STSI).

Ucapan Terima Kasih

Pertama-tama penulis menghaturkan penghargaan yang tulus kepada Direktur

Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar beserta staf atas kepercayaan yang

telah diberikan kepada penulis untuk menulis artikel ini. Ucapan terima kasih

disampaikan kepada Rektor Universitas Udayana Denpasar yang telah memberikan

penulis kesempatan untuk memasukkan artikel ini dalam Jurnal Elektrik ini. Rasa terima

kasih dan penghargaan penulis haturkan kepada Prof. I Wayan Ardika, Prof. R.M.

Soedarsono, Prof. Emiliana Mariyah, begitu pula Prof. Suciati Beratha, atas saran-saran

dan bimbingan yang diberikan. Ungkapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan

kepada suami tercinta Prof. I Wayan Dibia atas dukungan dan kasih sayangnya dalam

penyelesaian naskah ini.


THE ROLE OF WOMEN
IN BALINESE PERFORMING ARTS
IN DENPASAR CITY






Abstrak: Artikel ini dimaksudkan untuk membahas semakin dominannya peranan wanita
dalam seni pertunjukan Bali, khususnya yang ada di Kota Denpasar, selama dua puluh
lima tahun belakangan ini. Ada lima belas genre seni pertunjukan Bali, terutama dalam
kelompok seni pertunjukan hiburan atau balih-balihan, yang kini telah dimainkan oleh
wanita. Melalui proses glokalisasi, pengadaptasian budaya asing (global) ke budaya
lokal (Bali), peranan dan partisipasi kaum wanita Kota Denpasar dalam seni pertunjukan
Bali meliputi pelaku, pencipta, dan pengatur/penyaji. Artikel ini menunjukkan bahwa
perubahan-perubahan yang terjadi bukanlah suatu bentuk gerakan feminist untuk
mengambil alih dan mengganti posisi pria dalam seni pertunjukan Bali, melainkan suatu
realisasi dari upaya sadar kaum wanita Bali untuk ikut menjaga, melestarikan, dan
mengembangkan nilai-nilai seni dan budaya tradisional Bali. Singkatnya, meningkatnya
ketertarikan wanita Kota Denpasar untuk terjun dalam seni pertunjukan Bali bukan
diakibatkan oleh terjadinya kesenjangan gender tetapi oleh hasrat kaum wanita untuk ikut
berpartisipasi dalam menjaga kelangsungan dari seni pertunjukan Bali.

Kata-kata kunci: peranan wanita, seni pertunjukan, glokalisasi, gender.

Pendahuluan

Di dalam kurun waktu 25 tahun, dari 1980 sampai dengan 2005, telah terjadi

suatu perubahan penting dalam aktivitas seni pertunjukan di Kota Denpasar. Perubahan

ini ditandai oleh meningkatnya dominasi peranan wanita dalam aktivitas seni pertunjukan

di daerah ini. Akibatnya, kini kaum wanita di kota ini telah mampu tampil dan

memainkan peranan penting dalam lima belas genre seni pertunjukan Bali terutama yang

tergolong kelompok seni hiburan atau balih-balihan. Di samping peningkatan dalam hal

kuantitas, kualitas penampilan mereka juga meningkat secara signifikan yang dibuktikan

dengan telah mampunya kaum wanita melakukan tugas-tugas dan peran yang mereka

belum pernah lakukan di masa lampau.



By

Ni Made Wiratini

0 komentar:

Posting Komentar